Apa Itu Dimaul Mar’ati

Apa Itu Dimaul Mar’ati



                  Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Salam sejahtera buat teman-teman semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin yarobal alamin.



  Pada kesempatan yang berbahagia ini kami ingin mengajak teman teman untuk belajar tentang apa itu Dimaul Mar'ati. mari kita langsung baca saja penjabaran tentang Dimaul Mar'ati dibawah ini.


  Dimaul mar’ati (darah wanita) adalah darah yang keluar pada waktu-waktu tertentu sehingga mempunyai pengaruh tersendiri terhadap pelaksanaan ibadah. Oleh karena itu, masalah ini sangat penting untuk diketahui. Yang mana  masalah ini menyangkut syariat Islam, terutama mengenai kewajiban dan keharaman melakukan ibadah dalam berbagai bentuknya.  Dimaul mar’ati terbagi menjadi tiga yaitu haidh, nifas, dan istihadhah.

A. Haidh

1. Pengertian haidh
Pengertian haidh secara lughawi (bahasa) adalah mengalir sedangkan menurut istilah adalah darah yang keluar dari rahim perempuan yang baligh (dewasa) dengan tidak ada penyebabnya, melainkan memang sudah menjadi kodratnya perempuan . Adapun seorang wanita yang mengeluarkan darah dan sudah bisa dikatakan darah haidh apabila memenuhi tiga syarat darah haidh yaitu : Tidak kurang dari 24 jam, Tidak lebih dari 15 hari, Bertempat pada waktu mungkin/bisa haidh. Haidhnya seorang  perempuan dengan perempuan lain memiliki perbedaan. Misalnya mengenai jumlah darah yang keluar, warna darah, dan waktu/lamanya haidh setiap bulan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi lingkungan, iklim, dan psikis seorang wanita, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap perempuan yang sedang mengalami haidh.
Mayoritas Ulama’ mengatakan bahwa perempuan yang telah mencapai usia  9 tahun diannggap sudah baligh. Haidh pertama seorang perempuan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti gizi yang cukup, lingkungan, teman bergaul, tontonan, serta bacaan yang dikonsumsi. Sehingga tidak dapat dipastikan pada usia berapakah seorang perempuan mengalami haidh pertama. Adapun seorang perempuan akan berhenti haidh ketika sudah memasuki masa menopouse.

2. warna dan sifat darah haidh

Warna darah haidh ada 6 macam, yaitu :
a. Hitam (warna paling kuat)
b. Merah
c. Cokelat
d. Abu-abu (antara merah dan kuning)
e. Kuning
f. Keruh (antara kuning dan putih)

Sedangkan sifat-sifat darah haidh yaitu :
a. Cair 
b. Kental 
c. Berbau
Semua jenis haidh diatas hukumnya sama, masa keluarnya minimal 24 jam, dan telah memenuhi syarat-syarat dikatakan darah haidh. 

3. Adapun perkara-perkara yang dilarang ketika haidh, sebagai berikut: 

a. Mengerjakan sholat
Seorang perempuan yang dalam keadaan haidh, hendaknya ia meninggalkan sholat, baik sholat fardhu ataupun sholat sunnat. Dan hukumnya mengerjakan sholat ketika haidh ialah haram.  Begitu juga dengan sujud tilawah, sujud syukur, maupun khotbah jum’at. Apabila telah berhenti dari haidhnya, maka wajib baginya untuk mandi agar ia dapat melaksanakan perkara-perkara yang diwajibkan atas dirinya sebagaimana biasanya. 
Dari Abu Sai’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا

“Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)


b. Tawaf
Baik tawaf fardhu maupun tawaf sunnat hal ini dilarang di lakukan oleh seorang wanita yang sedang haidh. Yang mana hal ini sesuai dengan hadis nabi.
Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى

“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.”  (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)

c. Menyentuh atau membawa Al-Qur’an
Menurut para ulama wanita muslimah yang sedang dalam keadaan haidh atau tidak suci dilarang untuk menyentuh atau membawa mushaf Al Qur’an. Sebagaimana hal ini terdapat dalam QS. Al-Waqi’ah : 79

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,

لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ

“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

d. Berjimak ketika haidh
Para ulama sepakat bahwa menyetubuhi wanita haidh di kemaluannya dihukumi haram. Allah Ta’ala berfirman,


وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ


“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Dari Anas bin Malik disebutkan bahwa orang Yahudi biasanya ketika istri-istri mereka haidh, mereka tidak makan bersamanya dan tidak kumpul-kumpul dengan istrinya di rumah. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menanyakan tentang hal itu. Allah Ta’ala lantas menurunkan ayat di atas. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ

“Lakukanlah segala sesuatu selain jimak(hubungan intim).” (HR. Muslim,no. 302)
Dalam hadits disebutkan,


مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-

“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haidh atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

e. Berhenti dalam masjid
Adapun melewatinya boleh apabila ia tidak takut akan mengotori masjid. Tetapi kalau ia khawatir kotorannya akan jatuh di masjid, maka lewat ke dalam masjid ketika itu haram. 

f. Puasa
Perempuan yang sedang haidh hukumnya wajib untuk meninggalkan puasa, baik puasa fardhu mupun puasa sunah. Adappun wanita yang telah suci dari haidh wajib untuk mengganti atau mengqada puasanya di lain waktu.

g. Dijatuhi talak
Seorang suami haram menalak istrinya yang sedang haidh atau nifas. Ibnu Umar telah menalak istrinya yang sedang haidh, maka Umar  menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw.
Sabda Rasulullah Saw:
Beliau berkata kepada Umar, “Suruhlah anakmu itu supaya rujuk kepada istrinya, kemudian hendaklah ia  tahan dahulu sampai perempuan itu suci, kemudian ia haid lagi, kemudian ia suci lagi, sesudah itu kalau ia (Ibnu Umar) menghendaki, teruskan perkawinan itu, dan itulah yang baik. Jika ia menghendaki, boleh ditalaknya sebelum dicampurinya. Demikianlah iddah yang diperiintahkan Allah Swt. yang boleh padanya  perempuan ditalak.” (Riwayat Bukhari  dan Muslim).

B. Nifas

1. Pengertian Nifas
Nifas berasal dari kata “na fi sa” yang bermaksud melahirkan. Darah nifas adalah darah yang keluar dari rahim perempuan, sesudah perempuan melahirkan. Darah nifas merupakan darah yang tertahan dan tidak bisa keluar dari rahim selama hamil. Dan ketika melahirkan darah itu keluar dari rahim secara sedikit demi sedikit.
Menurut Imam Syafi’i darah nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang sebelumnya mengalami kehamilan, meskipun darah yang keluar hanya berwujud segumpal darah.

2. Masa Nifas
Pada umumnya darah nifas keluar selama 40 hari, namun ada yang kurang dari 40 hari, ada juga yang sampai 50 hari. 
Empat imam madzab sepakat bahwa haram bagi perempuan yang sedang nifas (keluar darah setelah melahirkan) segala hal yang diharamkan dalam haid. Akan tetapi empat madzab berbeda pendapat tentang lamanya masa nifas itu.
Menurut Hanafi dan Hambali: lama masa nifas adalah selama 40 hari. Demikian juga salah satu pendapat Maliki. Maliki (dalam pendapat lain) dan imam Syafi’i berpendapat: lama nifas adalah 40 hari. Pendapat lain dari Al-Layts bin Sa’ad berpendapat: lama nasa nifas adalah 70 hari.
Tiga imam madzab berpendapat bahwa apabila darah nifas terhenti sebelum masa maksimalnya, maka suami boleh bercampur dengan istri. Selama itu, Hambali berpendapat: suami tidak boleh bercampur dengan istri, kecuali setelah lewat masa 40 hari. 

3. Hal-Hal Yang Diharamkan Bagi Perempuan Yang Sedang Nifas

a. Sholat
Semua ulama sepakat diharamkan sholat bagi wanita yang sedang mengalami haid atau sedang mengalami nifas, baik sholat wajib maupun sholat sunah.

b. Puasa
Sudah ditetapkan secara ijma’ bahwa wanita haid dan nifas itu harus meninggalkan puasa, akan tetapi dia harus mengganti (mengqadha) puasa ramadhan.

c. Bersetubuh
Menurut ijma’ yang disepakati para imam, tidak diperbolehkan bersetubuh dengan wanita yang sedang haid atau nifas.

d. Thawaf
Thawaf diharamkan bagi wanita yang sedang haid menurut ijma’ para ulama. 

C. Istihadhah

1. Pengertian Istihadhah
Secara bahasa istihadhah mempunyai arti mengalir. Dan secara istilah syar’i, istihadhah adalah darah penyakit yang keluar dari farji wanita yang tidak sesuai dengan ketentuan haid dan nifas.  Para ulama mendefinisikan istihadhah sebagai keluarnya darah dari kemaluan wanita di luar haid dan nifas atau karena sakit. Wanita yang mengalami istihadhah disebut mustahadhah. 
Sifat darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada umumnya, encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya dan ia hanya akan berhenti setelah keadaan normal. 

2. Yang Termasuk Darah Istihadhah
Darah istihadhah terbagi menjadi 5 yaitu: 

a. Darah sebelum usia 9 tahun
Bila seorang anak perempuan yang mengalami keluar darah dari kemaluannya seperti darah haid, padahal usianya belum lagi masuk usia haid , yakni belum 9 tahun menurut hitungan tahun qomariyah, maka dia bukan sedang mendapat haid. Sebab secara ketentuan syari’ah, darah itu merupakan darah istihadhah.

b. Darah setelah usia haid (50-70 tahun)
Para ulama memberikan batasan maksimal usia haid, bila darah masih keluar di atas usia tersebut, dihitung bukan sebagai darah haid. Menurut mazhab Al-Hanafiyah, batas  usia haid untuk seorang perempuan maskimal hingga ketika berusia 50 tahun saja. Sedangkan menurut  Al-Malikiyah, perempuan di atas usia 70 tahun masih mengeluarkan darah yang mirip dengan haid, terhitung bukan darah haid, melainkan darah istihadhah.

c. Darah di masa suci
Bila darah masih saja keluar setelah masa haid (13-15 hari) terlewat, maka darah itu pun juga bukan termasuk haid melainkan darah istihadhah.

d. Darah sebelum melahirkan
Darah atau cairan apa pun yang keluar sebelum proses kelahiran  bayi juga termasuk darah istihadhah. Karena pengertian darah nifas hanyalah darah yang keluar pada saat kelahiran atau setelah itu. Bila sebelum kelahiran telah ada darah yang keluar, entah apa pun nama dan istilahnya, disebut dengan darah istihadhah.

e. Darah setelah nifas
Seorang wanita yang masih mengalami keluar darah setelah masa nifas (40-60 hari), sesuai dengan mazhab masing-masing, maka hukumnya sudah wajib untuk melaksanakan shalat. Karena darah tersebut merupakan darah istihadhah.

3. Keadaan wanita yang mengalami Istihadhah
Wanita yang mengalami istihadhah memiliki tiga keadaan yaitu: 
a. Masa haidnya diketahui waktunya sebelum datangnya istihadhah. Dalam keadaan seperti ini, masa yang diketahuinya itu dikategorikan sebagai waktu haidh dan berlaku baginya hukum haidh, dan keluarnya darah setelah itu disebut sebagai istihadhah yang berlaku baginya hukum wanita yang mengalami istihadhah. Hal itu didasarkan pada hadits Ummu Salamah mengenai kisah Fathimah binti Hubaisy:“Bahwasannya ada seorang wanita yang mengeluarkan darah secara terus-menerus pada masa Rasulullah SAW. Kemudian dia meminta fatwa kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda:     
     
لِتَنْظُرْ عِدَّةَ اللَّيَالِي والأَيَّامِ الَّتِي كاَنَتْ تَحِيْضُهُنَّ مِنَ الشَّهْرِ قَبْلَ أنْ يُصِيْبَهَاالَّذِيْ أصَابَهَا فَلْتَتْرُكِ الصَّلاَةَ قَدْرَذلكَ مِنَ الشَّهْرِ، فَإِذَاخَلَّفَتْ ذلِكَ فَلْتَغْتَسِلْ ثُمَّ لِتَسْتَثْفِرْ بِثَوْبٍ ثُمَّ لِتُصَلِّ فِىْهِ.

“Hendaklah ia memperlihatkan jumlah malam serta hari di mana ia biasa haid  dalam satu bulan sebelum ia mengalami kejadian yang dialaminya, kemudian hendaklah ia meninggalkan shalat menurut ukuran jumlah hari kebiasaan haidnya dalam satu bulan. Jika hari-hari haidnya telah berakhir, hendaklah mandi serta memakai cawat (penyumpal darah), lalu menunaikan shalat.”

Dari ‘Aisyah, dia bercerita: “Fathimah binti Abi Hubaisy pernah bertanya pada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang tidak suci, apakah aku haraus meninggalkan shalat?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang demikian itu hanya (sejenis) keringat dan bukan haidh. Oleh, karena itu, jika datang kepadamu waktu haidh, tinggalkan shalat,dan jika waktu haidh itu telah berlalu, bersihkan diri dari darah (mandi) dan kerjakan shalat, selanjutnya wudhulah setiap kali akan shalat hingga benar-benar datang waktu (haidh) itu.”
Berdasarkan hal tersebut di atas, wanita yang mengalami istihadhah menunggu beberapa waktu selama hari-hari dia biasa mengalami haidh setiap bulan, lalu mandi dan mengerjakan shalat. Setelah itu wudhu setiap akan mengerjakan shalat dan mengerjakan shalat apa saja, baik yang wajib maupun yang sunnah, sampai masuknya waktu shalat yang lain.

b. Wanita yang mengalami istihadhah ini tidak mempunyai waktu haidh yang rutin sebelum istihadhah itu datang, tetapi dia bisa membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah. Jika darah haidhnya berwarna kehitam-hitaman, kasar, atau berbau, berlakulah padanya hukum haidh,  sedangkan pada  yang lainnya berlaku hukum istihadhah.

Hal itu didasarkan pada hadits Fathimah binti Hubaisy, dia pernah mengalami istihadhah, maka Rasullah SAW. bersabda kepadanya:

إِذَاكَانَ دَمُ الْحَىْضِ فَإنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإذَا كَانَ كَذلِك فَأَمْسِكِيْ عَنْ الصَّلاَةِ، فإذَاكَانَ الاخَرُ فَتَوَضَّئِ وَفَصَلِّيْ فَإنَّمَا هُوَ عِرْقٌ.


“Jika darah itu adalah darah haidh, maka ia diketahui berwarna hitam. Jika keadaanya seperti itu, hendaklah kamu menahan diri dari shalat. Tetapi jika warnanya adalah warna lain, hendaklah kamu berwudhu setelah mandi dan shalat, Karena darah itu adalah penyakit.”

c. Keadaan seorang wanita tidak memiliki hari-hari haid yang pasti dan tertentu serta tidak juga dapat membedakan antara darah haid dan darah istihadhah, baik karena begitu dia baligh dalam keadaan istihadhah dan tidak bisa melakukan pembedaan maupun dia lupa dan bingung dalam membedakannya. Dalam keadaan seperti itu, dia bisa menghitung hari haidnya seperti yang biasa dijalani oleh kaum wanita, yaitu enam atau tujuh hari seuai dengan kebiasaan yang dijalankan oleh orang-orang terdekatnya, seperti misalnya ibu, saudara perempuan kandung, atau bibi. Lalu dia memilih yang lebih dekat waktunya dari itu, enam atau tujuh hari pada setiap bulannya yang dimulai dari pertama kali dia mengetahui keluarnya darah, dan selebihnya dihitung sebagai istihadhah.
Hal ini didasarkan pada hadits Hamnah binti Jahsy. Nabi bersabda  kepadanya:

إنَّمَاهِيَ رَكْضَةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ فَتَحَىَّضِى سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَىَّامٍ فِي عِلْمِ اللهِ ثُمَّ اغْتَسِلِي فَإذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً أَوْ ثَلاَثًا وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَأىَّامَهَا وَصُوْمِيْ وَصَلِّيْ فَإِنَّ ذلِكَ يُجْزِئُكِ وَكَذلِكَ فَافْعَلِىْ كَمَا تَحِىْضُ النِّسَاءُ.

“Sesungguhnya hal itu adalah gangguan setan, maka hitunglah masa haidmu sebanyak 6 atau 7 hari dalam pengetahuan Allah, kemudian mandilah, jika kamu melihat bahwa kamu telah bersih dan telah suci, lalu shalatlah selama 24 atau 23 hari. Berpuasalah dan shalatlah, niscaya hal itu berpahala bagimu. Perbuatlah hal itu pada setiap bulan sebagaimana layaknya kaum wanita berhaid.”

4. Ketentuan yang bersangkutan dengan istihadhah
a. Tidak wajib mandi atas wanita penderita istihadhah kecuali satu kali saja. Yaitu pada saat telah berhenti haidnya, sesuai dengan perhitungannya atau perkiraannya yang kuat.  Apabila telah datang waktu haid bulan berikutnya, (sedangkan darah penyakit nya masih terus keluar) maka ia berhenti mengerjakan shalat selama kurang lebih 6 atau 7 hari, kemudian mandi wajib pada hari ke-7 atau ke-8, dan menganggap dirinya telah suci kembali.

b. Setelah mandi wajib dalam keadaan istihadhah, ia wajib berwudhu setiap kali akan mengerjakan shalat, walaupun secara normal wudhunya itu belum dianggap batal.

c. Hendaknya ia tidak berwudhu kecuali setelah masuknya waktu shalat. Hal ini mengingat bahwa wudhunya itu dianggap sebagai sesuatu yang darurat (atau dalam keadaan tidak normal) sehingga tidak boleh dikerjakan sebulum adanya keperluan untuk itu.

d. Sebelum memulai wudhu, hendaknya ia terlebih dahulu membersihkan tempat keluarnya darah dan menyumbatnya dengan kapas pembalut dan sebagainya, agar mengurangi keluarnya darah dan menampunganya untuk sementara (setidak-tidaknya, selama melaksanakan shalat).

e. Pada hari-hari yang termasuk istihadhah, ia dibolehkan melakukan perbuatan apa saja yang dibolehkan bagi wanita dalam keadan suci (shalat, puasa, memegang mushaf Al-Qur’an serta membacanya, dan sebagainya). Termasuk pula melakukan hubungan seksual (jima’, atau senggama) dengan suaminya, walaupun sebagian ulama menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tidak disukai (makruh), karena dapat mengganggu kesehatan.(Dalam hal ini, seyogianya berkonsultasi juga dengan dokter yang ahli). Disamping itu, dibolehkan pada baginya, menjamak taqdim atau ta’kbir antara shalat zuhur dan asar: demikian pula antara shalat maghrib dan isya’, demi tidak menambah kesulitannya.


Wallahu a'lam bish-shawabi




nahh itu saja pembahasan kita kali ini, jika mungkin ada kesalahan penulisan dalam konsep materi yang telah saya sampaikan, saya mengucapkan mohon maaf yang sebesar besarnya. karena saya sendiri juga merupakan manusia yang tidak luput dari salah dan dosa, jika teman teman teman berkenan silahkan teman teman bisa ikuti saya dan memberikan kritik ataupun saran pada kolom komentar dibawah. Dan saya ucapkan terimakasih karena telah mengunjungi blog saya yang sederhana ini.

wasalamu'alaikum warah matullahi wabarakatuh.



DAFTAR PUSTAKA

Ad-dimasyqi, al-‘allamah muhammad bin ‘abdurrahman.Fiqih Empat Madzab. Bandung: Hasyimi.
Al Aziz S, Moh. Syaifullah. Fiqih Islam Lengkap. Surabaya: Terbit Terang.
Al bantany, Nur’aisyah. 2014. Pahala dan Dosa Wanita Ketika Datang Bulan, Jakarta: Lembar Langit Indonesia.
Al-Qahthani. 2006. Ensiklopedi Shalat menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I.
Ardani, Muhammad Ahmad. Risalah Haidh, Nifas, dan Istihadhah. Surabaya: Al Miftah
Bagir, Muhammad. 2008. Fiqih Praktis I. Bandung: Karisma.
LBM-PPL. 2002. Uyunul Masa-il Linnisa’. Kediri: Lajnah Bahtsul Masa-il Madrasah Hidayatul Mubtadi-en Pondok Pesantren Lirboyo.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. Fiqhus Sunnah Lin Nisa. Solo: Pustaka Arafah.

Belum ada Komentar untuk "Apa Itu Dimaul Mar’ati"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel