Peran salahuddin al ayubi dalam perang salib


Peran salahuddin al ayubi dalam perang salib




     Panglima perang Muslim dalam Perang Salib III adalah Shalahuddin al Ayyubi. Ia juga menjadi pemimpin Perang Salib yang terkenal. Ia membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi penerus Nuruddin. Setelah Nuruddin wafat pada tahun 570 H / 1174 M, maka tahun 571H / 1175 M Shalahuddin berhasil
mendapatkan legitimasi dari kekhilafahan Abbasiyah sebagai pemimpin wilayah Mesir dan Syam.
      Pada tahun 570 H / 1174 M Sultan Malik an-Nashir Shalahuddin bin Ayyub berniat untuk memasuki negeri Syam agar dapat melindungi dari Salibis Eropa. Akan tetapi terdapat halangan oleh perkara yang penting. Yaitu, Salibis Eropa datang ke pantai Mesir
      Penghalang lain bagi Malik an-Nashir untuk pergi ke Syam adalah munculnya seseorang yang dikenal dengan al-Kanz, namanya ialah ‘Abbas bin Syadi’, ia merupakan (pasukan) garis depan Mesir yang berasal dari Dinasti Fatimiyah (Syiah).
Ia berangkat ke negeri yang di kenal dengan nama Aswan. Ia pun menghimpun pasukan, maka terhimpunlah pasukan yang sangat banyak dari orang-orang yang hadir. Ia mengaku kepada mereka sebagai Sayu’iduddaulah al-Fatimiyah, dan ia memfitnah seorang jenderal Turki sehingga ia mendapatkan dukungan dari banyak orang.
Kemudian mereka menuju Qush dan
menaklukkannya serta membunuh sejumlah panglima dan tokoh-tokohnya. Oleh karena itu, Shalahuddin menyiapkan sejumlah pasukan yang dipimpin oleh saudaranya yaitu Malik al-Adil Abu Bakar al-Kurdi, tatkala mereka berhadapan,
al-Malik al-Adil berhasil mengalahkan mereka dan menawan keluarga mereka dan menawan keluarga mereka dan membunuhnya
       Ketika kondisi negeri telah stabil dan tidak ada pemimpin dari Dinasti Fatimiyah di sana. Maka Sultan berangkat menuju negeri Syam bersama pasukan Turki.
Peristiwa tersebut terjadi setelah wafatnya Sultan Syam yaitu Nuruddin Mahmud bin Zanki, penduduknya dalam ketakutan, melemahnya pilar-pilar, para
pemimpinnya berselisih, dan terjadi kerusakan. Tujuannya adalah menguatkan persatuan dan berbuat kebaikan kepada penduduknya, mengamankan wilayah dan pegunungannya, membela Islam, mempertahankan dari serangan musuh, menghilangkan agama-agama lain, menghancurkan Salib dalam keridhaan Allah yang Rahman.
     Setelah kondisi Damaskus aman seluruhnya, maka (Sultan) berangkat menuju Halab (Aleppo) dengan segera dikarenakan terjadi kekacauan.
Kemudian ia berangkat menuju Halab dan menduduki gunung Jausyan, kemudian mengumumkan penduduk Halab untuk hadir dilapangan Bab al-‘Iraq.
Maka berkumpullah mereka, anaknya Malik Nurruddin. Ia mencari simpati dari mereka dengan menangis di hadapan mereka, serta memprovokasi mereka untuk memerangi Shalahuddin.
Perbuatan tersebut atas saran panglimanya, maka penduduk negeri tersebut mewajibkan setiap orang dengan kewajiban taat kepadanya.
Rafawidh (Syiah Rafidhah) memberikan syarat agar mengembalikan adzan di negeri tersebut dengan “Hayya ‘ala kairil ‘amal,” kemudian dikumandangkan di pasar-pasar dan mengumandangkan juga di Jami’ (Masjid Besar) di sebelah timur, disebutkannya nama-nama imam 12 (dua belas) ketika di hadapan jenazah dengan takbir 5 (lima) kali dalam shalat jenazah, dan akad nikah mereka di serahkan kepada Syarih Abu Thahir bin Abu Makarim Hamzah bin Zuhrah al-Husainiy.
Mereka mewajibkan itu semua, sehingga adzan di Jami’ (Masjid Besar) seluruh negeri dikembalikan dengan “hayya ‘ala khairil ‘amal.
      Pada tahun 583 H / 1187 M terjadi perang Hittin yang menjadi pertanda dan sinyal menuju penaklukkan Baitul Maqdis.
Pada kamis, 2 Rabiul Akhir
tahun 583 H (2 Juli 1178 M), Shalahuddin mengeluarkan perintah ke pasukannya agar maju ke Thabaria, menyerang benteng, lalu bertahan disana.
     Perang Salib III, tepatnya pada tahun (583 H / 1187 M) Shalahuddin berperang melawan tentara salib yang dipimpin oleh Raja Guy dari Lusignon dalam pertempuran besar di Hattin.
72 Pasukan Islam mulai melakukan serangan ke pasukan Salib, mereka berperang dengan kesungguhan.
Mereka terus meningkatkan tekanan terhadap musuh, karena sadar bahwa posisi mereka terjepit di antara negeri Jordan dan Syam. Mereka sadar, bahwa tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka, kecuali Allah. Pertempuran itu dimenangkan oleh Shalahuddin pada 4 Juli (583 H / 1187 M) dengan kemenangan yang gemilang.
Salah seorang penyair yang bernama Ibn Sana’ al-Mulk (w. 1211 M) menyampaikan pidato yang memuji kehebatan Shalahuddin dan kemenangan besar dalam perang Hattin.
Sebagai penghargaan atas kemenangan di Hattin dan Yerussalem, dicetak koin emas yang diukir dengan nama Shalahuddin di Syria
dengan tahun (583H / 1187 M), ia disebut sebagai sultan Islam dan kaum muslim.
      Reynald yang melanggar perjanjian damai di hukum bunuh, sedangkan Raja Guy of Lugsinan (Raja Yerusalem) diperlakukan secara terhormat oleh Shalahuddin. Setelah menaklukkan Akka, Yaffa, Beirut, Jubayl, Asqalan, dan Gazzah, selanjutnya pada 27 Rajab 538 H (2 Oktober 1187 M) Shalahuddin bersama pasukan Islam berhasil merebut kembali Yerusalem yang telah diduduki pasukan Salib sejak 1099 M.
       Setelah Yerusalem jatuh ketangan pasukan Muslim, tinggal kota Tirus yang masih tersisa. Tirus, yang saat itu dipimping oleh Conrad dari Montferrat, berhasil mempertahankan diri dari kepungan yang dilancarkan oleh Shalahuddin sebanyak dua kali.
Ia melakukan taktik mundur untuk kemudian menaklukkan kota lain seperti Arsuf dan Yaffa. Jatuhnya Yerusalem ke tangan kaum Muslimin sangat memukul semangat tempur tentara Salib.
Mereka pun melakukan serangan balasan terhadap pasukan Muslim. Kemenangan Shalahuddin merebut
Yerusalem mengakibatkan kemarahan umat Kristen. Kemudian Paus Clement III memberangkatkan pasukan Salib yang di pimpin Federick I Barbarssa, raja Jerman (1152 - 1190 M), Richard I, raja Inggris (1189 - 1199 M), dan Philip II Augustus, raja Perancis (1123 - 1180 M) dalam perang Salib periode ketiga.
       Di bawah komando tiga panglima besar ini, pada tahun 1189 M pasukan Salib bergerak maju dengan menempuh dua jalur yang berbeda. Pasukan Richard  dan Philip bergerak maju dan melakukan serangan melalui jalur laut, sedangkan pasukan Barbarssa yang merupakan elemen tentara terbanyak di Eropa bergerak maju dan melakukan serangan melalui jalur darat (Konstantinopel). Ketika pasukan Barbarssa menyeberangi sungai di Asia Kecil pada 10 Juni 1190 M dia
mati tenggelam sebelum tujuannya tercapai.
         Sebelum bergerak maju ke Tanah suci Yerusalem, Richard the Lionheart dan Philip Augutus sempat menguasai Siprus dan berhasil mendirikan kerajaan Siprus. Meskipun mendapat perlawanan sengit dari Shalahuddin al-Ayyubi, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota Kerajaan Latin. Tetapi Philip tidak melanjutkan peperangan, ia kembali ke Prancis untuk
segera menyelesaikan masalah internal pertarungan kekuasaan di dalam
negerinya.
      Richard dan Phillip berhasil menaklukkan Akka pada bulan Juli 1191 M dan dijadikan pengganti Yerusalem sebagai pusat pemerintahan pasukan Salib. Karena kesehatan Philip memburuk, maka pada 31 Juli 1191 M ia meninggalkan Akka mengajukan perdamaian kepada Shalahuddin dengan syarat umat Islam harus membayar tebusan sebesar 200.000 keping emas dan para tawanan akan di bunuh jika tebusan tersebut tidak di bayar.
Shalahuddin berupaya memenuhi Tuntutan itu, namun belum mampu membayar tebusannya hingga batas yang di tentukan.
Akibatnya, Richard memerintahkan pasukannya membunuh 2.700 Muslim. Tindakan kejam Richard itu sangat berbeda dengan kebijakan Shalahuddin yang memperlakukan para tawanan Kristen ketika pembebasan Yerusalem. Shalahuddin menetapkan tebusan yang sangat murah dan bahkan membebaskan para tawanan yang miskin dari kewajiban membayar tebusan apapun.
     Setelah di lakukan komunikasi intensif antara Richard dan Shalahuddin, maka pada 2 September 1192 M telah disepakati perjanjian damai di antara keduanya yang disebut Sulh al-Ramlah.
Tercapailah perjanjian damai Ramallah
yang mengakhiri konflik panjang perang Salib. Ini adalah tahap terakhir dari perundingan panjang dan rumit yang berproses sekitar 5 bulan. Pada Sya’ban 588 H (2 September 1992 M), utusan-utusan Shalahuddin membawa tawaran terakhir, dan Richard bersedia menandatanganinya.
Selain Richard juga tercatat nama-nama utusan itu sebagai penandatangan perjanjian. Hasil kesepakatan Ramallah ini isinya sebagai berikut:
1. Wilayah-wilayah pesisir dari Shur di sebelah Utara dan Yafa di sebelah Selatan, termasuk Qaisariyah, Haifah, dan Arsuf diberikan kaum salib.
2. Kota Asqalan di kembalikan ke tangan kaum Muslimin.
3. Muslimin dan Kristiani membagi rata wilayah Lod dan Ramallah.
4. Umat Kristiani bebas berkunjung ke Baitul Maqdis
5. Setiap kelompok, baik Muslim maupun kristiani berhak melintasi negeri kelompok lain.
6. Perjanjian berlaku selama 3 tahun 3 bulan
      Richard kemudian meninggalkan Akka menuju Inggris. Dengan demikian, Perang Salib ketiga gagal merebut Yerusalem dari tangan kaum Muslimin.
Tidak lama setelah penandatanganan perjanjian itu, Shalahuddin meninggal di Damaskus pada 27 Safar 589 H / 4 Maret 1193 M dengan menorehkan prestasi yang mengagumkan umat Islam maupun musuh-musuh Islam.
Mulai tahun 1193M dan seterusnya, Pasukan Salib lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk menyerang wilayah Mesir, dengan keyakinan besar bahwa negeri itulah yang menjadi kunci untuk mendapatkan Yerussalem.

Belum ada Komentar untuk "Peran salahuddin al ayubi dalam perang salib"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel